"NYANGKU itu artinya nyaangan laku." Ketua I Yayasan Borosngora, Ir H Enang Supena mencoba memberikan uraian tentang tradisi yang masih berlaku di lingkungan masyarakat Panjalu, sebuah daerah kecil dengan warisan budaya besar di Kabupaten Ciamis, Jawa Barat.Kalimat pendek yang mengandung makna luas itu dimanifestasikan dalam upacara sakral yang unik sekaligus menarik dan diselenggarakan rutin tiap bulan Maulud. Bentuknya hampir sama dengan pajang jimat di Cirebon atau upacara serupa di daerah lain, misalnya Sekatenan di Yogya.

Pada saat seperti itu, masyarakat Panjalu yang berasal dari berbagai daerah berkumpul di kampung halamannya untuk menghadiri upacara tersebut. "Bukan untuk memuja-muja barang peninggalan leluhur, tetapi upacara tersebut diselenggarakan untuk mengingat jasa dan perjuangan leluhur masyarakat Panjalu, yakni Prabu Sanghiang Borosngora," katanya.

Borosngora, Raja Panjalu yang arif dan bijaksana itu yang dianggap leluhur masyarakat Panjalu adalah penyebar agama Islam pertama di daerah tersebut. Beberapa bukti peninggalannya masih bisa dijumpai di daerah ini berupa benda-benda pusaka berbentuk pedang, keris, kujang dan lainnya. Satu di antaranya adalah pedang pemberian Sayyidina Ali, sahabat Nabi Muhammad SAW, ketika Borosngora berkunjung ke Mekah.

Benda-benda yang dianggap pusaka itu disimpan dan dirawat dengan baik di Bumi Alit, bangunan kecil berbentuk panggung di dekat alun-alun Panjalu. Melalui pusakanya itu, Sanghiang Borosngora berpesan kepada anak cucunya jika ingin melihatnya tidak perlu mencari di mana ia berada, tetapi cukup dengan melihat benda-benda pusakanya. "Lain Borosngora jadi parabot saperti pedang jeung keris, tapi tuluykeun syiar Islam," katanya mengingatkan bahwa bukan ia menjelma pada benda-benda pusaka tersebut, namun itu untuk melanjutkan syiar Islam.

Nyangku yang diselenggarakan tiap tahun merupakan tuntunan yang diberikan leluhur masyarakat Panjalu untuk anak-cucunya dalam menjalani kehidupan bermasyarakat. "Singsaha anak incu kaula, isuk jaganing geto hirupna ingkar tina papagon hirup jeung papagon agama, hirupna moal jamuga,", ia mengingatkan anak cucunya yang ingkar dari ajaran hidup dan ajaran agama, esok lusa pasti akan tersesat nasibnya.

***

SECARA tradisi nyangku setiap tahun diselenggarakan pada setiap hari Senin, menjelang akhir bulan Maulud setelah sehari sebelumnya diselenggarakan peringatan Maulud Nabi Besar Muhammad SAW. Tahun ini upacara diselenggarakan 18 Juni lalu, dihadiri ribuan pengunjung.

Pagi sekitar pukul 09.30, benda-benda pusaka peninggalan Borosngora dikeluarkan dari Bumi Alit, lalu dibawa dengan sangat hati-hati menuju tempat upacara. Benda-benda itu digendong, tak ubahnya menggendong anak bayi.

Rombongan yang terdiri dari tokoh masyarakat dan sesepuh Panjalu berjalan dalam deretan paling depan diiring pembawa benda pusaka dan penabuh kesenian gembyung. Sementara ratusan pengiring lainnya berada dalam barisan paling belakang mengantarkan perjalanan benda pusaka tersebut ke tempat upacara di halaman Kantor Desa Panjalu.

Puncak upacara dan sekaligus merupakan saat yang paling dinantikan ditandai dengan pembersihkan benda pusaka tersebut menggunakan air yang diambil dari beberapa mata air kemudian dicampur jeruk nipis. Di bawah panggung bambu yang digunakan sebagai tempat mencuci benda-benda pusaka tersebut, ratusan penduduk mengulurkan tangannya mengharapkan sisa air yang digunakan mencuci benda pusaka. Mungkin dan sangat boleh jadi mereka mengharapkan berkah di saat menghadapi lilitan kesulitan ekonomi seperti sekarang.

***

PRABU Sanghiang Borosngora dimakamkan di Nusa Gede, sebuah bukit yang terletak di tengah danau Situ Lengkong. Makamnya hampir tak henti-hentinya dikunjungi para peziarah dari berbagai daerah, termasuk Presiden Abdurrahman Wahid. Dalam kunjungannya yang terakhir, selain mengaku masih keturunan Panjalu, Gus Dur berjanji akan membantu biaya pembangunan Masjid Situ Lengkong sebesar Rp 1 milyar, namun hingga kini belum terbukti.

Nusa Gede yang dijuluki Pulau "Koorders" itu, sekitar 16 ha di antaranya merupakan cagar alam yang ditetapkan sejak 21 Februari 1919. Nama yang digunakan untuk bukit kecil itu diberikan sebagai penghargaan kepada Dr Koorders, pendiri dan ketua pertama Nederlandsh Indische Vereeniging tot Naturbescherming, yakni perkumpulan untuk perlindungan alam, atas jasanya di bidang lingkungan.

Dalam upacara nyangku tahun ini, pengelolaan Situ Lengkong dan Pulau "Koorders" sebagai obyek wisata secara resmi diserahkan kepada Pemda Kabupaten Ciamis. Serah terima berupa site plan, bangunan pintu gerbang, pusat informasi turis dan 18 kios diserahkan gubernur yang diwakili Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jabar, H Memet Hamdan kepada Bupati Oma Sasmita.

Pada kesempatan itu, sesepuh masyarakat Panjalu, H Atong Tjaradinata mengutarakan rencananya untuk menyelenggarakan upacara nyangku tahun depan akan di Nusa Gede.


DIBUNGKUS KEMBALI - Setelah dibersihkan, pedang dari Sayyidina Ali, salah satu benda pusaka yang diterima Sanghiang Borosngora di Arab Saudi, dibungkus kembali dengan sangat hati-hati. Mula-mula ditutup dengan daun enau yang sudah kering lalu dibungkus berlapis-lapis benang dan kemudian bungkus terakhir dengan kain putih.

BENDA PUSAKA - Benda-benda pusaka peninggalan Sanghiang Borosngora dibersihkan dengan cara dimandikan di atas panggung yang terbuat dari bambu. Di sekitarnya masyarakat berjejal mengharapkan mendapatkan air yang digunakan mencuci benda-benda pusaka tersebut.

PENGAWAL - Dikawal pasukan berseragam pakaian adat, benda-benda pusaka yang akan dibersihkan diiring dari Bumi Alit ke halaman Kantor Kelurahan Panjalu. Sepanjang jalan, asap kemenyan mengepul menyebarkan aroma khas suasana.

ZIARAH - Ratusan dan bahkan pada hari-hari tertentu mencapai ribuan pengunjung dari berbagai daerah di Jabar, Jateng, dan Jatim berziarah ke makam Sanghiang Borosngora di Nusa Gede. Untuk mencapai tempat tersebut mereka harus menyeberangi Situ Lengkong dengan perahu.

0 komentar:

Post a Comment

 
Top